Jangan Biarkan Emosi Merusak Kebahagiaan Keluarga Anda

Jangan Biarkan Emosi Merusak Kebahagiaan Keluarga Anda

Saya teruskan lagi tentang konflik pasangan suami isteri (pasutri) ya.... Pada beberapa postingan terdahulu, secara berurutan telah saya sampaikan sumber konflik yang berasal dari karakter personal, yaitu sifat tidak mau mengalah dan sifat saling menuntut dari pasangan. Sumber konflik berikutnya yang bermula dari karakter personal, adalah sifat emosional. Ini yang akan saya sampaikan dalam postingan kali ini.

 

Yang dimaksud dengan sifat emosional adalah kondis jiwa yang labil, meledak-ledak, cepat marah, cepat terbakar dan panas hatinya oleh informasi yang belum tentu benar, cepat merespon dan bereaksi terhadap sesuatu ucapan atau perbuatan yang tidak menyenangkan dirinya, cepat tersinggung oleh perkataan yang dianggap tidak pantas, dan seterusnya. Sifat-sifat pribadi seperti ini sangat cepat memicu munculnya konflik antara suami dan isteri.

 

Sifat Emosional Merusak Kebahagiaan

 

Suami atau isteri yang memiliki sifat emosional, cenderung tidak peka dengan situasi yang dihadapi oleh pasangan. Saat ia merasa tidak nyaman, tidak enjoy, badmood, akan cepat diekspresikan decara vulgar tanpa memperhatikan pasangan sedang berada dalam situasi seperti apa. Kata-kata kasar dan kaku cepat meluncur tanpa kendali, hanya karena menyaksikan sesuatu hal kecil yang tidak menyenangkan hatinya. Ketersinggungan diekspresikan dalam bentuk yang berlebihan dan melampaui kapatutan.

 

“Pa, sudah berapa kali Mama bilang. Jangan menaruh handuk sembarangan. Dasar orang kampungan”, ujar seorang isteri mengomeli suaminya dengan gusar. Hanya karena ia melihat suami menaruh handuk yang usai dipakai di atas kursi sofa.

 

Ketika sang suami sedang berada dalam situasi lelah, sedang banyak pekerjaan di kantor, ditambah banyak beban target yang belum tercapai, ungkapan yang tidak ramah tersebut akan memudahkan baginya untuk mengimbangi dengan emosi dan kemarahan yang meledak-ledak. Jadilah pertengkaran yang hebat hanya dipicu soal handuk.

 

“Mama bisa masak gak sih? Papa kan sudah bilang tidak suka masakan manis. Kenapa setiap hari semua masakan berasa manis? Kalau memang malas gak mau masak, bilang saja,” ujar seorang suami dengan nada emosi, disertai raut wajah yang merah penuh kemarahan.

 

Jika isteri sedang berada dalam situasi yang lelah karena seharian bekerja membersihkan rumah, memasak, mengurus anak, dan segudang pekerjaan rumah lainnya, maka ucapan suami seperti itu akan membuatnya mudah emosi. Alih-alih dipuji suami, bahkan yang didapatkan adalah ucapan yang menyakitkan hati. Maka meledaklah pertengkaran, hanya karena cita rasa masakan.

 

Seseorang yang bersifat emosional, lebih mengedepankan meletupkan emosi dibandingkan menimbang dengan akal dan meredam dengan hati. Setiap kejadian, lebih mudah dipahami dengan bahasa emosi, kurang pertimbangan akal dan hati. Dampaknya, sering mudah salah paham. Cepat tersinggung, cepat naik darah, dan kemarahan sering tidak terkendalikan. Marah diluapkan di sembarang tempat dan waktu, tanpa peduli pihak lain da lingkungan sekitar.

 

Orang yang bersifat emosional merasa lega dan puas setelah berhasil meluapkan kemarahan dan emosinya kepada orang lain. Suami yang emosional, merasa lega setelah berhasil memarahi isterinya. Isteri yang emosional, merasa puas setelah berhasil menumpahkan kemarahan kepada suaminya. Namun perasaan lega dan puas ini hanya sesaat dan sementara. Ketika emosinya mulai mengendap, ia merasakan penyesalan. Namun hal itu berulang lagi setiap hari.

 

Cemburu Buta

 

Suami atau isteri yang memiliki sifat emosional, sangat mudah tersulut cemburu buta. Jika isteri mendengar informasi mengenai kedekatan suaminya dengan seorang perempuan teman kerja, ia akan langsung percaya dan menduduh suaminya telah selingkuh. Ia lebih mudah percaya omongan orang lain yang belum tentu benar, dibandingkan omongan suami.

 

“Papa selingkuh kan? Sudah berapa kali Papa tidur dengan Rhani?” ucap seorang isteri saat suaminya pulang dari acara di luar kota.

 

“Alasannya dinas luar, ternyata hanya untuk selingkuh dengan teman kerja”, masih belum puas sang isteri meningkahi.

 

Cemburu buta seperti ini akan mudah menghancurkan rasa saling percaya antara suami dan isteri. Emosi yang tidak tertahan, memuncak dalam luapan kata-kata tuduhan dan caci maki. Seakan suaminya adalah seorang terdakwa yang duduk di kursi persidangan. Sementara dirinya adalah hakim yang tengah mengadili.

 

“Ayo, mengaku saja ! Mau beralasan apa lagi? Aku sudah muak dan bosan mendengar alasanmu”, semakin menjadi-jadi kemarahan sang isteri.

 

Semestinya sang isteri menenangkan hati. Mencari waktu dan situasi yang tepat untuk berbicara dengan suami, dari hati ke hati. Menyampaikan perasaan, bertanya dengan sopan, bukan menuduh dan melemparkan vonis kesalahan. Cepat percaya informasi yang negatif adalah pertanda sifat pribadi yang emosional, kurang kedewasaan, jiwa yang labil, serta pikiran yang berjangka pendek. “Sumbu pendek”, alias mudah dan cepat meledak saat tersulut emosi.

 

Sifat emosional juga melahirkan karakter pendendam. Sulit melupakan dan memaafkan kesalahan pasangan. Semua kekurangan dan kelemahan pasangan akan sangat kuat terekam tanpa pernah terhapus dalam ingatan. Seakan tidak ada kebaikan pasangan karena tertutupi oleh kekurangan dan kelemahan. Hatinya dipenuhi kebencian, sehingga menutup berbagai kebaikan dan sisi positif pasangan. Hilang oleh karena satu kesalahan atau kelemahan.

 

Kendalikan Emosi

 

Yang diperlukan adalah pengenalan terhadap kondisi diri sendiri. Suami dan isteri harus mengetahui dan mengakui, apakah dirinya termasuk orang-orang yang emosional. Jika iya, maka harus ada kesadaran dan kamauan untuk melakukan terapi ruhani. Terapi kejiwaan, mengingat emosional adalah penyakit psikis. Suami dan isteri yang merasa dirinya memiliki sifat emosional harus berusaha untuk membersihkan hati, membeningkan pikiran, dan mengendalikan perbuatan dengan akal sehat serta hati bersih.

 

Ketika perasaan marah dan emosi datang, harus segera melakukan tindakan untuk meredakannya. Misalnya dengan jalan berwudhu, melaksanakan shalat, berdzikir, mengingat kekuasaan Allah, berdoa, memohon pertolongan kepada Allah dari godaan setan, perbanyak istighfar, disertai tindakan praktis. Di antara tindakan praktis yang bisa dilakukan adalah, menahan diri untuk tidak berbicara saat marah, karena omongan bisa salah dan menimbulkan masalah baru. Ketika kemarahan meledak, tenangkan hati dan cobalah posisi yang rileks. Jika sedang berdiri, cobalah duduk santai. Jika duduk masih emosi, cobalah berbaring.

 

Pikirkan hal-hal yang indah dan menyenangkan, jangan terfokus kepada hal yang menyebabkan kemarahan. Jangan tergesa-gesa untuk menghakimi pasangan sebagai salah, karena fenomena sering tidak sama dengan apa yang sesungguhnya. Biasaka budaya recheck, konfirmasi, bertanya, mengobrol, berdiskusi, dalam suasana yang santai dan nyaman. Jauh dari suasana yang tegang dan penuh benci.

 

Jika masing-masing selalu berusaha untuk menyadari posisi diri, maka perlahan akan bisa mengendalikan sifat yang mudah emosi. Pikiran bening dan hati bersih lebih utama dibanding meledakkan emosi. Duduk berdua sambil berdiskusi lebih utama dibandingkan saling menuding dan mencaci maki.

 

Indahnya hidup bersama isteri dan suami tercinta. Indahnya hidup dalam keluarga. Pertengkaran tidak mengapa, asalkan ada kemauan untuk menghadapinya dengan riang gembira.

 

29 Juni 2013   07:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:16

Image: erabaru.net